-->
Sepakbola Sebagai Alat Politik

Sepakbola Sebagai Alat Politik

Sepakbola bukanlah hanya sebatas olahraga. Di sana ada intrik politik yang licik, nasionalisme yang membara membakar dada, trik-trik terkutuk untuk meraup dollar dari tangis air mata puluhan juta orang, dan persinggungan antara berbagai kepentingan dari tangan-tangan tak terlihat yang bersaing mengelola jagat raya.

Jika ditanya apakah sepakbola bisa terpisah dari politik, tentu saja tidak. Bahkan di beberapa negeri, urusan si kulit bundar sangat menentukan bertahan atau tidaknya suatu rejim.

Ada pertandingan penuh darah antar dua negara Amerika Tengah yang berakhir dengan agresi militer dan saling serang.

Atau sebuah kesebelasan nasional berjuluk Tim Biru Agung yang berhasil menggondol juara dunia berkat 'tekanan' Il Duce Benito Mussolini.

Bahkan kabarnya di Uganda, seorang bocah lelaki bisa dipastikan tetap hidup dan luput dari peluru para prajurit Idi Amin jika ia berbakat bermain bola.

Sedang di Yugoslavia, pertandingan antar klub berbasis Serbia melawan kesebelasan yang didukung orang Kroasia ataupun Albania dipastikan penuh sentimen politik, bahkan ideologi dan agama. Entah itu kiri dan kanan, Katolik-Ortodoks-Islam, atau Liberal-Komunis-Nasionalis

Walau begitu banyak contoh dari perkawinan antara Sepakbola dan Politik, dalam kesempatan kali ini saya hanya memberi contoh satu kasus saja, dimana sepakbola tidak hanya menjadi corong politik namun juga duta ideologi.

Sebuah contoh yang jarang disebut-sebut. Sebuah peristiwa yang berhulu dari sebuah klub yang pernah jadi jawara di kompetisi nasional Uni Sovyet, yakni Dynamo Moskva.

21 Mei 1945, salah satu klub terkuat Eropa Barat saat itu, Arsenal FC dihancurkan tak bersisa.

4 gol berbalas 3. Tim kebanggaan para Londoner tersebut dibuat menangis, meraung dan menanggung malu dari tamunya yang bahkan tidak pernah mereka dengar namanya di jagat bal-balan benua biru, FC Dynamo Moskva yang tak lain adalah klub sepakbola berisi para prajurit Uni Sovyet, tanah airnya Leninisme.

Sontak dunia terhentak, bahkan seperti berhenti berotasi untuk sejenak. Termasuk pers Inggris yang selalu setia menghina komunisme sebagai ideologi kaum idiot yang kejam, dungu dan miskin.

Namun skor 4-3 itu yang kemudian disusul dengan kemenangan 10-1 atas Cardiff dan seri 0-0 melawan Chelsea nampaknya memberi bukti baru, sepakbola ala komunis bisa menandingi para kompetitor mereka, kaum kapitalis.

Sejak saat itu, Stalin langsung memerintahkan USSR berbenah. Liga dipermak menjadi kompetisi yang mendekati profesional, klub-klub baru bermunculan, bintang-bintang hebat lahir dan kemenangan-kemenangan untuk Uni Sovyet makin banyak diraih.

Stalin sadar sepakbola adalah salah satu sarana menunjukkan bagaimana komunisme bisa mengungguli musuh-musuh terkutuk mereka dari barat. Alhasil Uni Soviet sebagai timnas maupun klub-klubnya mulai unjuk gigi. Medali emas cabor football di Olimpiade juga berhasil digasak. Sepakbola sukses menjadikan Uni Sovyet panen piala sekaligus moncer sebagai kiblat kemajuan pembangunan ala sosialistik yang bebas dari unsur-unsur kapitalis. USSR berhasil menjadi raksasa bola era 50an!

Walau Stalin memang adalah setan yang tak punya perikemanusiaan dan layak untuk tidak diteladani oleh semua umat manusia, namun berkat andil pemimpin megalomaniak itulah USSR bisa moncer, khususnya dari sepakbola. Football memiliki dimensi maha luas, yang bahkan mampu mengangkat derajat sebuah bangsa yang baru saja dicabik Nazi menjadi mercusuar dunia. Dan itu bermula dari sebuah klub yang mungkin tidak masuk hitungan para pandit football jaman now, Dynamo Moskva.

Oleh: G. Siswoko
Baca Juga
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Post a Comment